Perlukah Impor Guru?
Benarkah
Indonesia kekurangan SDM berkualitas mengisi posisi guru di sekolah-sekolah?
Lalu apakah
Indonesia juga tidak memiliki trainer yang mumpuni untuk melatih guru lokal?
Jika impor
guru dilakukan apakah serta merta meningkatkan kualitas guru kita?
Pertanyaan-pertanyaan
itu mungkin terus melintas dalam benak kita sejak rencana menteri Puan impor
pendidik dari luar negeri tersebar di media. Respon yang sering muncul adalah
kenyataan jumlah sarjana pendidikan yang besar sementara guru honorer masih
banyak yang belum jelas nasibnya. Jadi mengapa harus impor guru atau pelatih
guru dari luar negeri?
sumber foto: SoreangOnline.com |
Ibu Menteri Puan
Maharani yang terhormat, berikut beberapa tanggapan saya:
Pertama, mendatangkan guru impor untuk
sekolah-sekolah Indonesia kedengarannya bagus, tapi bisa jadi tidak menyentuh
inti masalah. Kualitas guru ditentukan sejak rekrutmen awal. Siapa yang
mendaftar menjadi guru? Apakah lulusan-lulusan terbaik dari universitas-universitas
terbaik sudah berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi guru? Kalau mau
ditarik lebih ke belakang, apakah lulusan SMU dengan nilai yang sangat baik
akan memilih Universitas pendidikan sebagai pilihan pertama? Saya menilai
belum. Jurusan pendidikan belum menjadi jurusan terfavorit dan profesi guru
belum menjadi profesi terfavorit. SDM dengan kualitas terbaik belum menjadikan
sektor pendidikan terutama guru sebagai jalan hidupnya. Inilah sebab paling
mendasar dari masih belum meratanya kualitas guru kita.
Sederhana saja,
karena profesi guru belum menjadi pilihan yang menggiurkan terutama dalam hal
pemenuhan kesejahteraan hidup. Adanya kenaikan gaji guru dari waktu ke waktu
dan sertifikasi memang bagus, tapi belum cukup membuat para lulusan terbaik SMU
memilih Universitas pendidikan sebagai pilihan pertama dan membuat lulusan
terbaik dari universitas ternama memilih profesi sebagai guru. Mereka misalnya
lebih memilih jurusan-jurusan teknik, kedokteran, hukum dan ketika lulus lebih
memiih bekerja sebagai pegawai BUMN, perusahaan-perusahaan besar atau pegawai
bank.
Mengapa?
Karena gaji
pertama seorang guru masih belum memadai untuk kebutuhan riil sehari-hari.
Tambahan tunjangan melalui sertifikasi guru baru bisa didapatkan setelah
mengabdi sekian tahun, dan harus mengantri dengan guru-guru yang lebih senior.
Selain itu, menjadi guru di awal kadang tidak langsung menjadi PNS. Ya, mereka
harus menjadi guru honorer dulu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Itu
situasi sekolah-sekolah negeri. Keadaan di sekolah swasta tidak jauh berbeda.
Beberapa sekolah sudah memberikan gaji yang layak untuk seorang guru yang baru
masuk, namun tidak sedikit sekolah yang membayar gaji guru bahkan masih dibawah
UMR. Kejadian ini ternyata tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah dengan uang
masuk dan SPP yang murah, namun juga terjadi di sekolah-sekolah elit berbiaya
tinggi. Wali murid membayar mahal untuk pendidikan anak-anaknya, namun
pengelola sekolah masih belum memprioritaskan dana untuk membayar guru agar
bergaji tinggi.
Kedua, pelatihan dan pendampingan yang
serius, bukan hanya akal-akalan.
Pelatihan bagi
guru sebetulnya sudah rutin dilakukan. Para guru terkadang harus meninggalkan
murid-muridnya di sekolah hingga beberapa hari karena undangan pelatihan. Mulai
pelatihan mengenai pendalaman materi ajar hingga ke teknis pembelajaran. Itu
semua tentu saja baik, tapi sudahkah dilakukan evaluasi secara ‘ketat‘ tentang
tercapainya parameter keberhasilan pelatihan-pelatihan tersebut. Jangan sampai
pelatihan-pelatihan tersebut hanya menjadi ajang mendapatkan sertifikat.
Kemudian hal
penting yang jarang dilakukan oleh pemegang kebijakan yang bertanggung jawab
terhadap kapasitas guru, yaitu pendampingan. Untuk meng-upgrade kemampuan
guru tentu tidak cukup melalui pelatihan sehari atau beberapa hari. Diperlukan
kesinambungan dalam praktek mengajar sehari-hari. Guru memerlukan pendampingan
serius untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di lapangan. Serius berarti,
dilakukan oleh pelatih/ pendamping profesional, dalam jangka waktu tertentu
yang diperlukan serta evaluasi yang dilakukan secara berkala.
Ketiga, rasionalkan beban kerja guru untuk
keperluan proses upgrade dan mengembangkan diri serta sistem/institusi
masing-masing sekolah.
Ketika
berkesempatan mengisi pelatihan bagi para guru, saya kerap memberikan bahan
yang bisa dipelajari lebih lanjut. Sebagian dari mereka mengeluhkan beban kerja
yang kurang rasional. Seorang guru dengan beban mengajar 33 jam per pekan,
belum ditambah dengan beban yang sifatnya adminstratif. Kapan mereka punya
waktu untuk belajar dan mengembangkan kemampuan?
Demikian selintas
kritik dari saya. Maju terus pendidikan Indonesia!
Andi Sitti Maryam, M.Si.
Praktisi
Pendidikan
Aktif di Komite
Sekolah
Tinggal di Surabaya
Comments
Post a Comment